Pintar Kelola Keuangan Setelah Menikah

October 22, 2010
PERSIAPKAN finansial keluarga saat merencanakan menikah. Artinya, pintar-pintarlah kelola keuangan sejak menikah, di antaranya dengan saling percaya dan transparan terhadap kondisi keuangan masing-masing.

Di awal pernikahan hingga 6 bulan berikutnya, pernikahan Mutia Kirana, 25, dengan Lody Wibana, 28,seperti tidak ada hambatan. Namun beberapa bulan setelahnya, timbul satu masalah, yaitu masalah perselingkuhan, bukan “perselingkuhan” dengan wanita atau pria lain, tetapi “perselingkuhan keuangan”.

Pasangan ini memiliki tabungan bersama sejak mereka pacaran. Setelah menikah, mereka memutuskan untuk menyimpan gaji mereka berdua ke dalam tabungan bersama dan dikelola oleh Mutia. Untuk kebutuhan sehari-hari, Mutia akan memberikan uang “jajan” yang diberikan secara bulanan kepada Lody.

Suatu hari Mutia berbicara lantang kepada suaminya saat bertanya mengenai ke mana larinya uang yang telah diberikan sebagai uang “jajan” untuk suaminya. “Kok cepet amat sih abisnya, kamu pakai hura-hura ya? Atau membeli barang yang ga penting?,” tutur wanita yang telah menikah satu tahun lalu ini. “Enggak kok, aku cuma beli tas kerja yang sudah diidam-idamkan sejak dulu. Apa salahnya, toh, aku tidak mengganggu tabungan kita kan,” ucap Lody.

Masalah keuangan yang terjadi dalam keluarga kecil memang sering terjadi. Mempersiapkan diri untuk membentuk suatu keluarga, ternyata tidak hanya butuh persiapan fisik dan psikis saja, melainkan butuh persiapan dan pengelolaan dalam hal keuangan. Sebab, tidak sedikit juga masalah keuangan menjadi konflik dalam rumah tangga.

Pakar perencana keuangan, Eka Setyawibawa ChFC CFP menyatakan, berdasarkan penelitian disebutkan bahwa masalah keuangan cukup banyak menjadi sumber konflik dalam rumah tangga.

“Dari sekian banyak masalah keuangan, salah satu masalah yang sering menjadi konflik dalam keluarga yakni ke mana larinya uang yang diperoleh setelah perkawinan,” ujar dia dalam acara seminar “100% Siap Nikah, Premarital Check Up, Persiapan Mental dan Finansial” yang diadakan oleh Klinik Prodia di Jakarta beberapa waktu lalu.

Eka menjelaskan, persoalan yang dialami Mutia mungkin terjadi karena adanya budaya dominasi, di mana “uang suami itu uang istri dan uang istri itu uang milik istri”. Jadi, yang terjadi adalah semua uang yang dihasilkan setelah perkawinan adalah uang bersama.

“Pandangan tersebut tampaknya seperti lelucon, tetapi ternyata sudah menjadi budaya,” lanjut konsultan yang berpraktek di PT ABC Konsultan, Jakarta ini.

Itu sebabnya, Eka menyarankan agar setiap pasangan memiliki rasa kepercayaan dan saling terbuka (transparan), terutama setelah perkawinan. Pertama yang harus dilakukan adalah dengan melakukan kesepakatan dengan pasangan terlebih dahulu. Karena walaupun sudah menikah, bukan berarti gaji suami menjadi gaji bersama dan itu biasanya diputuskan oleh kedua belah pihak.

“Siapa yang harus mengurus keuangan, siapa yang harus membayar kebutuhan keluarga, menjadi hal yang harus dikompromikan tentang masalah keuangan,” contohnya.

Eka menuturkan, jika gaji suami sudah masuk ke dalam pengelolaan istri, maka ada baiknya pasangan harus memutuskan untuk memberikan uang “jajan” atau memegang uang saku masing-masing yang jumlahnya sudah disepakati.

“Sebaiknya penggunaan uang tersebut tidak dipertanyakan dan pasangan dibebaskan menggunakan uang saku tersebut,” tuturnya.

Itu sebabnya, saling percaya dan terbuka menjadi satu kebutuhan dalam membangun rumah tangga termasuk masalah keuangan. Kebutuhan manajemen keuangan harus lebih diteliti setelah pasangan merencanakan untuk memiliki anak. Karena apabila sudah memiliki anak, maka mau tidak mau jumlah pengeluaran meningkat sehingga sekitar 60–70 persen dari pendapatan digunakan untuk pengeluaran rutin bulanan keluarga.

Seperti yang dikatakan oleh pakar perencana keuangan dari Quantum Magna Financial planning and consulting, Ligwina Hananto bahwa dalam mempersiapkan rencana keuangan, pasangan harus memperhitungkan biaya-biaya seperti biaya masa kehamilan, biaya perlengkapan bayi, biaya melahirkan, biaya setelah melahirkan, hingga dana pendidikan anak.

“Persiapkan dana hamil, melahirkan, dan pasca-melahirkan sebaiknya dilakukan sejak kita merencanakan memiliki anak,” tuturnya dalam acara yang sama.

Ligwina menuturkan, beberapa hal yang harus dikelola pada masa awal kehamilan, di antaranya untuk tes dan periksa kehamilan. Tahapan berikutnya adalah pengelolaan keuangan untuk periksa ke dokter dan USG minimal 1 bulan satu kali, termasuk biaya untuk membeli vitamin dan biaya mengikuti senam hamil agar ibu dan janin senantiasa sehat.

“Jangan lupa menuliskan biaya untuk hal-hal kecil seperti membeli baju hamil, buku dan majalah untuk sumber informasi, sampai biaya untuk syukuran anak,” paparnya lulusan Universitas Indonesia ini.

Memiliki keluarga bahagia menjadi impian setiap keluarga. Untuk itu, bagi pasangan yang ingin meminimalisasi pertengkaran, terutama dalam hal keuangan, ada baiknya pasangan pintar mengelola keuangan, saling percaya, dan saling terbuka.

“Selain saling terbuka dan percaya, para pasangan hendaknya perbanyak informasi tentang akumulasi keuangan, tidak masa bodoh, dan tidak bergaya hidup konsumtif agar masalah keuangan tidak terjadi,” pesan Ligwina yang juga lulusan Singapore College of Insurance ini.
okezone.com